Dawut Maulan. S.Pd
Guru MAN Kediri II Kota Kediri
Tradisi
berlebaran yang khas di negeri ini adalah halal bi halal. Tradisi ini sungguh
merupakan tradisi yang sangat baik, mengingat ia dapat melengkapi kefitrahan
setiap mukmin yang setelah melalui proses penghambaan yang utuh selama bulan
Ramadan. Sebab jaminan kembali pada fitrah tersebut hanya terkait dengan
dimensi vertikal (habl min Allah).
Taubat
seorang mukmin yang diajukan kepada Allah di bulan Ramadan melalui serangkaian
ibadah wajib dan sunat hanya menyangkut kesalahan dan dosa kepada Allah.
Tegasnya Allah hanya mengampuni dosa yang terkait lang denganNya. Sementara
kesalahan dan dosa yang berdimensi horizontal (habl min al-nas) masih
ditangguhkan sampai orang yang bersangkutan menyelesaikannya.
Di
sinilah letak nilai pentingnya tradisi halal bi halal, yaitu sebagai suatu
upaya membersihkan diri dari kesalahan dan dosa horizontal. Dengan berhalal bi
halal maka setiap mukmin akan benar-benar mampu naik tingkat ke dalam golongan
orang-orang yang kembali pada fitrahnya dan orang-orang yang beruntung lagi
bahagia (minal a’idin wal faizin).
Namun, yang patut diperhatikan adalah pelaksanaan halal
bi halal itu sendiri. Seorang yang melakukan halal bi halal hanya bermotiv
melestarikan tradisi, misalnya. Maka dia tidak mendapatkan apa-apa selain
kenyataan bahwa tradisi itu masih tetap lestari, di mana dia turut ambil
bagian dalam pelestarian itu.
Ada yang hanya mengalir bagaikan air, hanyut dalam eforia
bermaaf-maafan, tanpa dibarengi denga upaya membersihkan diri dari kesalahan
dan dosa horizontal. Pola ini yang nampaknya menjadi pilihan mayoritas umat
mukmin di negeri ini, termasuk para penjahat dan para koruptor. Jika demikian
halnya, maka jauh panggang dari apai. Artinya halal bi halal yang dilakukan
belum mampu berfungsi sebagai pelengkap untuk mencapai kefitrahan.
Sebagaimana telah menjadi maklum bahwa ada
kesalahan-kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain atau sebaliknya yang
mudah dimaafkan dan tidak mudah untuk dimaafkan. Yang pertama biasanya terkait
dengan kesalahan-kesalahan kecil baik yang disengaja atau tidak. Sementara yang
kedua terkait dengan hal-hal besar dan prinsipil. Sudah tentu kesalahan yang
kedua ini tidak bisa selesai hanya dengan bermaaf-maafan tanpa adanya suatu
upaya penyelesaian yang nayata.
Sampai di sini, kiranya patut kita membaca kembali ajaran
Islam tentang taubat, sebab halal bi halal itu tidak lain adalah salah satu
bentuk taubat. Taubat secara harfiah berarti kembali. Manusia yang pada
dasarnya baik, dengan bertaubat dia akan kembali baik, setelah sekian lama
terjerumus dalam keburukan.
Taubat juga ada yang terhitung serius/tulus (taubat
nashuha), ada yang tidak. Untuk menilai tingkat keseriusannya paling tidak ada
empat kreteria yang harus dipenuhi, yaitu 1) meninggalkan kesalahan dan dosa
yang diperbuat dengan penuh kesadaran tentang keburukannya, 2)
bersungguh-sungguh menyesalinya, 3) berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,
dan 4) menggantinya dengan perilaku yang baik.
Keempat kreteria ini berlaku baik bagi dosa vertikal
maupun harizontal. Bertaubat untuk kesalahan pertama hanya membutuhkan
permohonan maaf (istighfar) kepada Allah. Tetapi untuk kesalahan yang kedua
istighfar saja tidak cukup, harus dibarengi dengan penyelesaian secara tuntas
hak-hak orang lain yang menjadi tanggungjawabnya.
Taubat
seorang pencuri misalnya, di samping harus memohon ampunan kepada Allah, dia
juga harus memohon maaf kepada seluruh korbannya dengan atau tanpa syarat, dan
mengembalikan seluruh hasil curiannya. Jika korbannya sudah meninggal maka
diselesaikan dengan ahli warisnya. Dan jika juga tidak ada maka dibelanjakan
untuk kemaslahatan umat. Sama halnya dengan koruptor, karena keduanya sama-sama
maling,.
Lebaran
bagi koruptor tidak lain adalah moment untuk bertaubat. Karenanya dalam
berhalal bi halal hendaknya dia membeberkan korupsi yang dilakukannya disertai
dengan pengembalian seluruh hasil korupsinya, sekaligus turut menyelesaikan
seluruh dampak sosio-ekonomi yang ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut. Jadi
tidak hanya cukup dengan permohonan maaf dan tetap membiarkan kerusakan sistem
yang diakibatkan oleh perbuatannya.
Memang
tampak berat, tapi setimpal dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. Dan ini
merupakan satu harga mahal yang harus dibayar demi mencapai kebahagiaan hakiki
baik di dunia maupun di akhirat, seperti yang tertuang dalam do’anya setiap
habis shalat (rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah).
Tetapi
tampaknya bukan prasyarat yang cukup memberatkan ini yang membuat para koruptor
enggan untuk bertaubat. Ketercorengan “harga diri” di hadapan masyarakat
mengalahkan rasa malunya (haya’) di hadapan Allah. Alpa pada laranganNya agar
tidak menjual agamanya demi kepentingan duniawi semata, dan tentang
tanggungjawab personal di hadapanNya.
Penegasan
terakhir tersebut meneguhkan sikap naif para koruptor “hidup adalah permainan.”
Alih-alih mereka menampakkan kesadaran religiusnya saat berlebaran dan berhalal
bi halal. Mereka malah menjadikannya sebagai bagian dari permainannya. Logika
kembali pada fitrah dijadikan momentum untuk merasa bahwa dirinya benar-benar
telah bersih, termasuk dari kejahatan korupsi. Sehingga pasca Idul Fitri
korupsinya menjadi semakin menggila.